Di tengah gembornya berita mengenai pengesahan RUU Sisdiknas maupun tingginya penarikan dana untuk biaya masuk perguruan tinggi swasta, sejumlah pelajar SMU yang mewakili Indonesia sedang berjuang dalam olimpiade internasional ilmu-ilmu eksakta, yang meliputi matematika, fisika, kimia, biologi dan komputer di berbagai negara.
Salah satunya, olimpiade kimia (IChO), telah diselenggarakan di Athena, Yunani dari tanggal 5 sampai 14 Juli 2003 yang baru saja lalu. Tim dari Indonesia yang diwakili oleh Ari Yustisia Akbar, Cipto Liusman, Damar Yoga Kusuma dan Teddy Salim berhasil memperoleh 1 medali perak dan 3 perunggu. Suatu prestasi yang sangat membanggakan, karena tim olimpiade kimia Indonesia ini berhasil mencatat prestasi yang lebih baik dari negara-negara yang notabeneperkembangan ilmu kimianya lebih maju, seperti Jepang, Amerika, maupun Belanda.
Kalau kita simak, selama 7 tahun keikutsertaannya dalam ajang olimpiade kimia, tim Indonesia telah berhasil merebut 2 perak dan 5 perunggu. Prestasi tim Indonesia terus meningkat seiring dengan perbaikan matrikulasi yang diberikan kepada pelajar. Hal ini bukanlah suatu hal yang mudah; ini hasil jerih payah para pendidik maupun pelajar yang dipilih melalui suatu kompetisi yang ketat mulai dari tingkat sekolah, tingkat propinsi sampai tingkat nasional.
Suasana ujian praktek |
Ujian yang diberikan dalam olimpiade kimia meliputi ujian teori dan praktikum; bobot penilaian lebih berat kepada ujian praktikum. Sering kali tim Indonesia unggul di bidang ujian teori tetapi jatuh dalam ujian praktek. Setidaknya, hal ini yang penulis rasakan waktu ikut serta dalam kompetisi ini 5 tahun yang silam. Tahun ini, wakil dari Indonesia berhasil menyelesaikan soal-soal teori dengan nilai yang tinggi dan mampu memperoleh peningkatan nilai pada ujian praktikum, sehingga bisa bersaing dengan peserta dari negara-negara lain dalam perebutan medali.
Materi ujian praktikum tahun ini terdiri dari dua bagian. Kalau kita coba melihat materi ini, terutama bagian pertama tentang sintesis senyawa peptida, kita mungkin akan dikejutkan oleh sulitnya materi tersebut. Bukan hanya alat-alat praktikum yang dipakai cukup asing di telinga pelajar SMU bahkan mahasiswa tingkat awal, melainkan juga prosedur praktikum cukup rumit dan perlu ketrampilan yang tinggi dalam menggunakan alat-alat praktikum tersebut. Pelajar dituntut untuk mampu menggunakan alat-alat praktikum tersebut secara terampil dalam memecahkan masalah-masalah yang biasa kita hadapi dalam suatu penelitian.
Apakah kendala kurangnya sarana dan prasarana praktikum bisa dijadikan alasan kurang mampunya negara-negara berkembang untuk bersaing dengan negara-negara maju? Faktanya, negara yang kerap berprestasi tinggi adalah negara-negara yang relatif prasarananya kurang memadai seperti Cina, Vietnam, Iran maupun Thailand. Kesamaan dari negara-negara yang terletak di benua Asia tersebut adalah eratnya kerja sama yang digalang oleh institusi akademik dengan pelajar dan sekolah. Para pelajar yang berprestasi di bidang ilmu eksakta dididik secara kontinu, dan mereka dapat menggunakan fasilitas praktikum di institusi akademik.
Suasana ujian teori |
Berkaca dari negara-negara tetangga seperti Jepang dan Singapura, para pelajar sejak dini telah dikenalkan ilmu eksakta melalui bacaan-bacaan ilmiah, berita-berita iptek, maupun pembelajaran melalui internet. Di sekolah-sekolah, pelajar membentuk klub-klub ilmiah yang dibimbing oleh guru. Pemerintah dan kalangan institusi akademik menyelenggarakan kompetisi-kompetisi tingkat propinsi maupun nasional yang menumbuhkan minat pelajar untuk menekuni ilmu eksakta secara lebih mendalam. Sehingga tidak heran, para pelajar dari negara-negara tersebut juga mampu berprestasi dengan meraih nilai yang tinggi dalam ujian praktikum. Bahkan dengan pengenalan iptek sejak dini, negara seperti Polandia mampu mencetak pelajar yang memperoleh medali emas 3 kali dalam keikutsertaan di kompetisi ini, mulai dari kelas 1 SMU sampai kelas 3.
Melihat hasil yang diperoleh tim olimpiade kimia Indonesia, kita boleh berbangga bahwa sumber daya anak bangsa Indonesia tidak kalah maju dengan bangsa-bangsa lainnya. Kurangnya sarana pendukung maupun dana yang sering menjadi kendala dalam pengembangan daya pikir ilmiah pelajar dapat diimbangi dengan kreativitas pembimbing (guru) dalam memberikan materi pelajaran secara sederhana dan mudah dimengerti. Tentunya pemerintah maupun institusi akademik juga turut mengambil bagian aktif dalam pengembangan ilmu kimia dengan menyediakan prasarana maupun menyelenggarakan kompetisi-kompetisi.
Redaksi chem-is-try.org berharap wakil dari Indonesia bisa kembali berprestasi pada IChO tahun mendatang yang akan diselenggarakan di Jerman. Selamat atas prestasi yang diukir oleh Tim Olimpiade Kimia Indonesia di Yunani dan selamat berjuang untuk Tim Olimpiade Kimia Indonesia berikutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar